Polemik program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS) Kesehatan hingga kini masih bergulir. Tak hanya soal defisit anggaran, kini kasusnya bahkan melibatkan banyak pihak yang terkait pelaksanaannya.
Berupaya mengatasi hal itu, Ikatan Dokter Indonesia melakukan audiensi dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin, 24 September 2018.
Dalam audiensi tersebut, Ketua Umum Pengurus Besar IDI, Ilham Oetama Marsis sempat mengakui adanya ‘oknum’ dokter dalam melaksanakan program BPJS Kesehatan yang melakukan ‘Penyimpangan Profesi’.
“Saya katakan, contohnya. Apakah tidak ada dokter yang nakal? Ada. Apakah tidak ada rumah sakit yang nakal? Ada,” ujar Ilham usai audiensi. Pernyataan tersebut tertulis dalam artikel VIVA sebelumnya,
Menanggapi hal itu, lebih jelas pihak IDI memberikan hak jawab atas artikel tersebut. Ada 4 poin yang ingin diklarifikasi oleh IDI yang disampaikan oleh Prof.Ilham Oetama Marsis saat berkunjung ke kantor VIVA Selasa 25 September 2018.
Pertama, Prof.Ilham Oetama Marsis mengeluarkan statement tersebut awalnya ingin menjawab pertanyaan tentang tanggapan IDI terhadap tudingan BPJS di dalam rapat dengar pendapat di Komisi IX DPR pada 17 september 2018 lalu. Dalam rapat tersebut BPJS Kesehatan menyampaikan bahwa terdapat data mengenai adanya pihak rumah sakit dan dokter yang ‘bermain’ sehingga pembiayaan untuk katarak lebih besar daripada penyakit katastropik. Hal ini kemudian dikaitkan dengan defisit yang dialami BPJS.
Poin kedua dalam klarifikasinya Prof Ilham Oetama Marsis juga menyinggung ada tidaknya perilaku dokter yang menyimpang dari norma profesi atau ‘nakal’.
“Dari data majelis kehormatan etik kedokteran (MKEK) maupun majelis kehormatan disiplin kedokteran indonesia (MKDKI) terdapat dokter yang berperilaku menyimpang. Pelanggaran ini tentunya harus dibina oleh profesi atau bisa dijatuhkan sanksi. Namun perilaku menyimpang atau ‘nakal’ ini tidak bisa langsung dikaitkan dengan penyebab terjadinya defisit BPJS.”
Poin ketiga, PB IDI menawarkan solusi penggunaan teknologi untuk menganalisa proses-proses pelayanan yang tidak sesuai dengan standar profesi yang dapat membebani biaya JKN.
“Namun dalam menganalisa hal tersebut harus melibatkan organisasi profesi dengan mekanisme audit medik. Selanjutnya data itu diolah selain untuk diambil tindakan lebih lanjut, yang terpenting adalah bagaimana mencegah agar tidak terjadi kembali penyimpangan tersebut.”
Poin yang terakhir Ilham Oetama Marsis juga mengatakan bahwa PB IDI masih sangat yakin dengan Anggota IDI yang berjumlah kurang lebih 150 ribu, jumlah dokter yang masih berperilaku terhormat menjaga profesionalisme dan taat terhadap sumpah dokternya jauh lebih banyak dibandingkan dokter yang berperilaku menyimpang.
“Sekali lagi domain dari IDI bersama seluruh jajaran organisasinya untuk membina anggota agar tetap mengedepankan kepentingan masyarakat.” (ren)
Sumber : Viva.co.id