Tak terasa sejak Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan berdiri pada 1 Januari 2014, begitu banyak perubahan dalam hal pelayanan kesehatan di Indonesia.
Namun karena sistem ini masih baru, perubahan pun dianggap masih ada yang sulit diterima. Seperti misalnya besaran tarif yang kecil untuk puskesmas atau klinik yang sering disebut kapitasi.
Seperti disampaikan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Dr. Zaenal Abidin pada wartawan dalam acara evaluasi 100 hari BPJS Kesehatan. Ia menyampaikan, hingga saat ini belum ada norma yang mengatur pembagian dana kapitasi antara organisasi profesi dengan Fasilitas Kesehatan (Faskes) seperti puskesmas atau rumah sakit.
“Tidak ada norma pembagian dana kapitasi antara organisasi profesi dan fasilitas kesehatan seperti puskesmas atau klinik. Padahal kami minta sejumlah dana sudah ditentukan, berapa yang harus diberikan managemen, klinik atau tenaga kesehatan. Sekarang ini mereka sulit membaginya,” kata Zaenal yang ditemui di Media Center BPJS Kesehatan, Jakarta, Kamis (10/4/2014).
Tak hanya itu, Zaenal melanjutkan, pembagian tarif di rumah sakit (INACBGs) juga belum jelas berapa yang sepantasnya dapat diberikan pada tenaga medis. ”Saya lihat mestinya ada imbas surplus di banyak rumah sakit tapi kenapa belum jelas pembagiannya. Padahal mereka yang kerja berat berhak mendapatkannya.”
Zaenal berharap, pemerintah dapat segera membuat aturan terkait hal tersebut. “Sekalian saja buat peraturan tentang norma. Jangan setengah-setengah,” tegasnya.