Jakarta, 11 November 2013. Sehari menjelang Hari Kesehatan Nasional (HKN) Ke – 49 pada 12 November 2013 besok, lembaga pemantau Rumah Sakit, Klinik, dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya yang bernama Indonesian Hospital And Clinic Watch (INHOTCH) mengadakan dialog kesehatan sekaligus dirangkaikan dengan launching perdana INHOTCH bertempat di Gallery Café Taman Ismail Marzuki Cikini Jakarta Pusat. Dialog yang bertemakan “Institusi Layanan Kesehatan Yang Manusiawi dan Berkeadilan; Ikhtiar Menuju Indonesia Sehat Tanpa Sekat” ini sengaja diangkat berkaitan dengan kondisi pembangunan kesehatan di Indonesia yang sebentar lagi memasuki era Jaminan Kesehatan Nasional melalui implementasi UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Era kesehatan baru dimana terdapat harapan besar dari masyarakat akan hadirnya layanan kesehatan untuk semua yang adil, manusiawi dan tanpa diskriminatif (SEHAT TANPA SEKAT).
Hal ini wajar mengingat pemerintah lewat BPJS telah mengalokasikan anggaran sebesar 25 Triliun Rupiah yang diperuntukan bagi anggaran kesehatan 84,6 Juta jiwa masyarakat Indonesia yang tercakup dalam kepesertaan. Namun disayangkan kebijakan mulia sekelas BPJS tidak ditopang oleh adanya infrastruktur sumber daya kesehatan serta fasilitas layanan kesehatan yang memadai. Merujuk pada data yang dipublish oleh INHOTCH melalui dr. Fikri Suadu selaku Direktur Eksekutif INHOTCH, bahwa baik insfrastruktur fasilitas kesehatan (Rumah Sakit Umum dan Puskesmas) maupun jumlah dan distribusi tenaga kesehatan masih dibawah kondisi mumpuni untuk pelaksanaan BPJS. Rumah Sakit misalnya, dari 746 Rumah Sakit Umum Pemerintah Masih ada sekitar 126 Rumah Sakit yang tidak memiliki dokter spesialis penyakit dalam, 139 Rumah Sakit yang tidak memiliki dokter spesialis bedah, 167 Rumah Sakit yang tidak memiliki dokter spesialis anak, serta 117 Rumah Sakit yang tidak memiliki dokter spesialis kandungan. Hal ini seirama dengan jumlah dokter yang tersebar di 9005 puskesmas. Dari total puskesmas tersebut hanya sekitar 7,4 persen yang memiliki tenaga medis (dokter gigi dan dokter umum). Itu baru dari segi keterbatasan sumber daya tenaga kesehatan saja.
Dari aspek infrastruktur fasilitas layanan kesehatan lebih memprihatinkan lagi. Jumlah tempat tidur di 685 Rumah Sakit Umum Pemerintah hanya berjumlah 101.039 buah, dimana dari jumlah tersebut, sebanyak 46.986 tempat tidur masuk dalam kategori kelas III. Jumlah yang sangat minim jika dibandingkan dengan Jumlah penduduk miskin di Indonesia yang mencapai 28.594.600 Juta jiwa. Berarti ada 608 masyarakat miskin yang berebut satu tempat tidur kelas III di RSU Pemerintah. Belum lagi jumlah unit perawatan intensif (ICU) yang hanya berjumlah 4.231 tempat tidur dan banyak terpusat di Rumah Sakit Umum Perkotaan (Tipe A dan B). Ironis padahal jumlah Rumah Sakit mayoritas masuk dalam kategori C dan D. Sangat memprihatinkan. Keprihatinan itu diperparah oleh kondisi puskesmas yang serba terbatas.
Dari total sebanyak 9005 buah jumlah puskesmas, hanya sekitar 18,6 % atau 1.600-an Puskesmas yang masuk dalam kategoti PONED (Puskesmas PONED adalah Puskesmas Rawat Inap yang memiliki kemampuan serta fasilitas PONED siap 24 jam untuk memberikan pelayanan terhadap ibu hamil, bersalin dan nifas dan bayi baru lahir). Padahal Indonesia sedang gencar-gencarnya menekan angka kematian Ibu dan Anak untuk mengejar target MDG’s 2015 mendatang. Kondisi ini juga dipersulit dengan fakta bahwa hanya sekitar 6,4 % dari jumlah puskesmas yang terdapat di daerah kepulauan, mengingat Indonesia adalah Negara kepualauan terbesar di dunia. Dan yang lebih tragis adalah hanya sekitar 1,2 % dari 9005 Puskesmas yang terdapat di wilayah perbatasan, wilayah yang sejatinya menentukan harkat dan martabat bangsa Indonesia.
Menjadi tanggung jawab bersama seluruh komponen bangsa, khususnya Kementrian Kesehatan RI untuk segera bertindak cepat menyikapi realitas kondisi kesehatan bangsa ini. Mustahil kita bisa menghilangkan sekat-sekat akses terhadap layanan kesehatan yang manusiawi apabila kebijakan besar sekelas BPJS tidak ditopang oleh kualitas yang baik dan kompeten dari fasilitas layanan kesehatan di Indonesia.
Sementara itu dalam pemaparannya, Ketua Umum PB IDI dr Zaenal Abidin menilai bahwa dalam perspektif tenaga medis, yang harus menjadi perhatian bersama adalah semakin maraknya dokter asing yang masuk ke Indonesia tanpa melapor ke organisasi profesi dalam hal ini IDI. Hal tersebut harus diseriusi oleh pemerintah lewat regulasi yang objektif. Sangat disayangkan jika dokter asing bisa leluasa masuk dan berpraktek di Indonesia mengingat disatu sisi saat ini banyak masyarakat yang gemar berobat ke luar negeri. Padahal lanjut beliau, kualitas dokter di Indonesia masih lebih baik. Dalam kesempatan ini dr. Zaenal Abidin mengapresiasi hadirnya INHOTCH, semoga semakin bisa mendorong adanya perbaikan terhadap Rumah Sakit di Indonesia.
Mendengar berbagai pemaparan dalam diskusi, Kementrian Kesehatan RI Melalui Kasubdit Dirjen BUK yang diwakili oleh dr. Yudhaputra berdalih bahwa kesehatan bukan hanya semata-mata menjadi tanggung jawab Kementrian Kesehatan.