“Dalam acara ini kami menyampaikan pandangan profesi dengan harapan bahwa agar masyarakat tidak takut berobat atau mendatangi pelayanan kesehatan (puskesmas, klinik) hanya karena tidak mengetahui tentang informasi pelayanan kedokteran atau tentang obat-obat yang diberikan,” ujar Ketua Umum PB IDI, Dr. Zaenal Abidin, MH dalam sambutannya pada acara jumpa pers “Halal atau Haram Obat yang Beredar Saat ini ?” pada 12 Desember 2013 di Sekretariat PB IDI jl. Samratulangi 29 Jakarta Pusat.
Zaenal menambahkan, bahwa IDI bukan yang memproduksi obat, dan IDI tidak mengetahui isi obat kecuali dicantumkan dengan jelas apa isinya, oleh karena itu yang menentukan obat itu halal dan haram adalah bukan tugas dokter. Tugas dokter adalah menyampaikan informasi kepada pasiennya tentang manfaat obat itu.
Dalam acara tersebut dihadiri berbagai media, baik media cetak maupun media elekronik, dan sebagai pembicara Dr. Masfar Salim MS, SpFK (Ketua Bidang Kajian Obat dan Farmakoterapi PB IDI. Acara di moderator oleh Sekjen PB IDI, Dr. Daeng M Faqih, MH.
Dari akhir acara, Sekjen memberikan kesimpulan, pertama mencegah pemahaman yang salah ada di masyarakat, sehingga ketakutan karena ada informasi bahwa banyaknya obat yang haram, khawatir masyarakat akan mencari alternative lain untuk berobat, sehingga merugikan masyarakat. Kedua, bahwa obat-obatan yang mengandung bahan yang haram itu sedikit jumlahnya, dan mayoritas obat yang halal. “Ini yang perlu disampaikan di masyarakat,” tutur Sekjen.
Daeng mengatakan, bahwa salah satu contoh yang mengandung obat haram yaitu obat untuk pengencer darah dan vaksin polio, tetapi tetap dipakai karena selama ini tidak ada penggantinya yang lebih efektif dari obat-obat tersebut. Sudah di coba oleh Bio Farma dan mencari bahan yang halal selama 8 tahun belum juga ada. “Oleh karena itu, jadi menurut azas ajaran agama, kalau itu tidak ada pengganti dan obat itu sangat diperlukan, maka termasuk kategori darurat. Maka secara darurat obat itu masih boleh di pakai,” ujar Sekjen lagi.
Ketiga bahwa dokter itu bukan penentu bahan-bahan obat. Jadi dokter itu sebagai pemakai dan memberikan informasi ke pasien. “Oleh karena itu kalau kita ingin mendorong adanya upaya dan adanya informasi sebagai hak public tentang halal dan haramnya obat maka sebaiknya informasi itu di letakkan di informasi kemasan obat, sehingga kalau informasi ada di kemasan obat secara langsung masyarakat bisa membacanya dan dokter dapat menginformasikan kepada pasien. Oleh karena itu ada tiga pihak untuk duduk bersama untuk mewujudkan itu, yaitu pabrik obat yang membuat obat, Badan POM dan Majelis Ulama Indonesia (MUI),” tutur Sekjen.