Nilai premi asuransi pada program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) senilai Rp 15.500 per kapita dinilai terlalu kecil sehingga berpotensi menimbulkan kegagalan program. Karena itu PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyatakan sikap menolak tegas besaran premi yang diusulkan pemerintah tersebut.

“Kalau tetap dipaksakan premi peserta JKN Rp 15.500 per kapita per bulan, dimana letak keadilan bagi masyarakat miskin,” ujar Ketua Umum PB IDI Dr Zaenal Abidin MH, disela diskusi bulanan PB IDI bertema Premi Penerima Bantuan Inuran Jaminan Kesehatan, Akankah Mengancam Fiskal Negara, Rabu (12/6) yang diselenggarakan di Gedung PB IDI Jln Samratulangi 29 Jakarta Pusat.

Dalam Diskusi tersebut dipimpin oleh Moderator Sekjen PB IDI Dr. Daeng M Faqih, MH, dan sebagai pembicara Bapak Isa Rachmatarwata Ketua Tim Rumus Kebijakan Sektor Keuangan RI yang membahas tentang “Kapasitas Fiscal Negara Terkait Jumlah Premi Penerima Bantuan Iuran untuk Pelayanan Kesehatan yang Berkualitas dan Berkeadilan”. Pembicara kedua, Ir Soepriyatno, Ketua Panja Jaminan Kesehatan DPR RI yang menjelaskan tentang “Menilai Keseriusan Pemerintahan dalam Mempersiapkan Jaminan Kesehatan yang Berkualitas dan Berkeadilan Di Era SJSN 2014’. Pembicara ketiga, DR. Hendri Saparini, Pengamat Ekonomi yang membahas tentang “Benarkah Pelayanan Kesehatan yang Berkualitas dan Berkeadilan Mengancam Kapasitas Fiskal Negara ?

Dr. Zaenal mengatakan, masalah besaran jumlah premi JKN hingga saat ini memang belum selesai. Tetapi dari berbagai kajian dan hasil perhitungan yang dilakukan secara matang dan ilmiah, tak ada lembaga atau instansi yang merekomendasikan nilai premi hanya Rp 15.500 per kapita.

Hasil hitung-hitungan Kemenkes senilai Rp 22 ribu per kapita, dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) senilai Rp 27 ribu per kapita merupakan hasil perhitungan yang sudah cukup matang disesuaikan dengan kondisi di lapangan.

Zaenal tidak mengerti mengapa pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan tetap ngotot pada nilai premi Rp 15.500. Padahal hasil uji program di DKI Jakarta dimana nilai premi Kartu Jakarta Sehat Rp 23 ribu per orang saja, banyak rumah sakit yang tidak sanggup.

Karena itu PB IDI mendesak agar pemerintah kembali menghitung ulang nilai premi asuransi KJN. Jangan sampai nilai premi yang besarnya tidak sesuai kebutuhan justeru akan membuat pihak-pihak yang terlibat dalam program KJN menjadi dirugikan. Terutama dokter, bidan, perawat dan rumah sakit.

Senada dengan PB IDI, Ketua Panitia Kerja JKM Komisi IX DPR RI Soepriyatno mengatakan kecilnya alokasi premi JKN mencerminkan ketidakmampuan pemerintah untuk menyelenggarakan program layanan kesehatan bagi warganya.

“Karena itu saya sarankan pemerintah datang ke DPR dan angkat tangan tidak sanggup menjalankan program JKN,” kata Soepriyatno.

Sebab jika premi tetap dipaksakan Rp 15.500, Soepriyatno khawatir akan terjadi kekacauan pelayanan kesehatan yang menyeluruh di Indonesia. Mengingat dalam uji program di DKI dengan premi lebih besar saja, sejumlah rumah sakit swasta menyatakan ketidaksanggupannya.

Sementara itu Pengamat Ekonomi Ibu Hendri Saparini mengatakan keterbatasan kemampuan fiscal pemerintah tidak boleh menjadi alasan program KJN yang notabene untuk masyarakat miskin, dilakukan sekedarnya saja. Sebab secara konstitusional, pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi masyarakat yang lemah.

“Jadi situasi fiscal tidak bisa dijadikan alasan mengorbankan kewajiban kepada rakyat miskin. Pemerintah harus mencari cara agar program untuk rakyat kecil tidak terganggu dan bisa diselenggarakan sebagaimana wajarnya,” pungkas

error: Content is protected !!