SURAT KEPUTUSAN PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA |
|
Menimbang |
|
Mengingat |
|
Memperhatikan | Hasil Mukernas Etik Kedokteran III yang diselenggarakan pada tanggal 21 – 22 April 2001 di Jakarta |
MEMUTUSKAN |
|
Menetapkan |
Keputusan PB IDI tentang Penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia |
Pertama : | Mencabut KODEKI hasil Rakernas MKEK-MP2A tahun 1993 |
Kedua : | Menetapkan penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) hasil Mukernas Etik Kedokteran III tahun 2001 sebagai pedoman etik bagi dokter dalam menjalankan profesi kedokteran. |
Ketiga : | Dengan penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia sebagaimana butir kedua tersebut, maka semua dokter yang menjalankan protesi kedokterannya wajib berpegang teguh pada KODEKI tersebut. |
Keempat : | Seluruh Pengurus Wilayah, Cabang dan Badan Kelengkapan orgarisasi IDI lainnya wajib menyebarluaskan KODEKI tersebut kepada seluruh dokter di wilayah kerjanya masing-masing. Surat keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan apabila ternyata dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam pembuatannya akan diperbaiki sesuai dengan keperluannya. |
Ditetapkan : Jakarta Pada tanggal: 19 April 2002 |
|
Ketua Umum, Prof DR. Dr. M. Ahmad Djojosugito, MHA. NPA. IDI : M6.094 |
Sekretanis Jenderal,
Dr. Fachmi Idris. M.Kes |
MUKADIMAH |
Sejak permulaan sejarah yang tersurat mengenai umat manusia, sudah dikenal hubungan kepercayaan antara dua insan yaitu sang pengobat dan penderita. Dalam zaman modern, hubungan ini disebut hubungan kesepakatan terapeutik antara dokter dan penderita (pasien) yang dilakukan dalam suasana saling percaya mempercayai (konfidensial) serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani. Sejak terwujudnya sejarah kedokteran, seluruh umat manusia mengakui serta mengetahui adanya beberapa sifat mendasar (fundamental) yang melekat secara mutlak pada diri seorang dokter yang baik dan bijaksana, yaitu sifat ketuhanan, kemurnian niat, keluhuran budi, kerendahan hati, kesungguhan kerja, integritas ilmiah dan sosial, serta kesejawatan yang tidak diragukan. Inhotep dan Mesin, Hippocrates dari Yunani, Galenus dan Roma, menupakan beberapa ahli pelopor kedokteran kuno yang telah meletakkan sendi-sendi permulaan untuk terbinanya suatu tradisi kedokteran yang mulia. Beserta semua tokoh dan organisasi kedokteran yang tampil ke forum internasional, kemudian mereka bermaksud mendasarkan tradisi dan disiplin kedokteran tersebut atas suatu etik profesional. Etik tersebut, sepanjang masa mengutamakan penderita yang berobat serta demi keselamatan dan kepentingan penderita. Etik ini sendiri memuat prinsip-prinsip, yaitu: beneficence, non maleficence, autonomy dan justice. Etik kedokteran sudah sewajarnya dilandaskan atas norma-norma etik yang mengatur hubungan manusia umumnya, dan dimiliki asas-asasnya dalam falsafah masyarakat yang diterima dan dikembangkan terus. Khusus di Indonesia, asas itu adalah Pancasila yang sama-sama kita akui sebagai landasan Idiil dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan struktural. Dengan maksud untuk lebih nyata mewujudkan kesungguhan dan keluhuran ilmu kedokteran, kami para dokter Indonesia baik yang tergabung secara profesional dalam Ikatan Dokten Indonesia, maupun secara tungsional terikat dalam organisasi bidang pelayanan, pendidikan serta penelitian kesehatan dan kedokteran, dengan Rakhmat Tuhan Yang Maha Esa, telah menumuskan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), yang diuraikan dalam pasal-pasal berikut: |
KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA |
KEWAJIBAN UMUM |
Pasal 1 |
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter. |
Pasal 2 |
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi. |
Pasal 3 |
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi. |
Pasal 4 |
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri. |
Pasal 5 |
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien. |
Pasal 6 |
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat. |
Pasal 7 |
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya. |
Pasal 7a |
Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia. |
Pasal 7b |
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien |
Pasal 7c |
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien |
Pasal 7d |
Setiap dokten harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. |
Pasal 8 |
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya. |
Pasal 9 |
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati. |
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASIEN |
Setiap dokten wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien,ia wajib menujuk pasien kepada dokten yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut. |
Pasal 11 |
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya. |
Pasal 12 |
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. |
Pasal 13 |
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya. |
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP TEMAN SEJAWAT |
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan. |
Pasal 15 |
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dan teman sejawat, kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis. |
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP DIRI SENDIRI |
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik. |
Pasal 17 |
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan |