DANA BPJS Kesehatan mengalami defisit dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2014 defisitnya Rp8,5 triliun, pada 2015 Rp10,67 triliun, pada 2016 Rp11,55 triliun, dan pada 2017 Rp16,62 triliun. Kesadaran masyarakat membayar iuran BPJS secara rutin harus semakin ditingkatkan.
Defisit BPJS menjadi problem besar dan kalau tidak ditanggulangi, pelayanan kesehatan masyarakat bisa menurun kualitasnya. Solusi yang kini dilakukan pemerintah melalui Kemenkeu ialah menalangi defisit BPJS Kesehatan Rp4,9 triliun.
Menurut catatan Kemenkeu, defisit keuangan dikarenakan pekerja informal yang masuk kategori peserta mandiri, tidak membayar rutin. Yang menyedihkan, hal itu terjadi sejak BPJS berdiri hingga saat ini. Padahal, mayoritas peserta mandiri BPJS Kesehatan itu menderita penyakit katastropik atau penyakit yang berbiaya tinggi.
Sekitar 30% pembiayaan BPJS teralokasikan untuk penderita penyakit katrastopik. Promosi kesehatan menjadi sangat penting untuk selalu didengungkan menyangkut berbagai penyakit katrastopik. Masyarakat harus disadarkan bahwa penyakit-penyakit modern sebenarnya dapat dicegah dengan pola makan seimbang dan gaya hidup sehat.
Salah satu pemicu penyakit katrastopik ialah obesitas. Masyarakat tidak boleh lagi menganggap obesitas sebagai lambang kesejahteraan, melainkan pencetus berbagai penyakit berbahaya. Obesitas ialah cermin asupan makanan yang tidak seimbang dengan pengeluaran energi tubuh. Diketahui, tetapi belum disadari sepenuhnya oleh masyarakat bahwa obesitas memunculkan penyakit penyerta yang bersifat fatal dan memerlukan perawatan berbiaya mahal, seperti penyakit jantung.
Kerugian ekonomi obesitas
Kerugian ekonomi obesitas dapat diukur dengan menghitung biaya perawatan kesehatan, nilai ekonomi produktivitas yang hilang akibat kematian dini, dan nilai ekonomi produktivitas akibat ketidakhadiran kerja. Hasilnya cukup mencengangkan, tiap-tiap besaran kerugian ekonominya Rp56,5 triliun per tahun (perawatan), Rp1,6 triliun per tahun (kematian dini), dan Rp20,4 triliun per tahun (ketidakhadiran kerja). Total kerugian ekonomi RI per tahun akibat obesitas Rp78,5 triliun per tahun atau setara 0,9% PDB (Wulansari dkk. 2016). Persentase ini lebih tinggi daripada Korea (0,22%) dan Thailand (0,13%).
Sejak 1997 WHO Expert Consultation on Obesity sudah memperingatkan tentang meningkatnya masalah kegemukan dan obesitas di berbagai belahan dunia. Apabila tidak ada tindakan berarti untuk mengatasi masalah yang bersifat pandemik ini, jutaan manusia di negara maju maupun di negara berkembang menghadapi risiko penyakit tidak menular.
Disadari bahwa banyak negara yang tidak memiliki data akurat mengenai masalah kegemukan dan obesitas di kalangan penduduknya. Hal ini disebabkan kurangnya prioritas untuk memahami masalah kesehatan yang sangat serius ini. Apalagi, bagi negara-negara berkembang, mereka lebih memfokuskan diri pada dimensi masalah gizi kurang atau stunting (anak pendek). Pemerintah RI menggelontorkan triliunan rupiah untuk memerangi stunting di 100 kabupaten.
WHO telah berinisiatif mengumpulkan database global tentang indeks massa tubuh (IMT) yang mencerminkan keadaan gizi masyarakat di berbagai negara. Selama empat tahun terakhir data IMT mulai terkumpul.
Data yang dipakai WHO untuk memotret masalah kegemukan dan obesitas ini sebagian besar diperoleh dari jurnal ilmiah yang terbit dalam rentang waktu 20 tahun (1983-2004). Hampir separuh publikasi yang dijadikan referensi ialah terbitan di atas 2000. Ini menunjukkan, semenjak 2000 fokus terhadap persoalan berat badan ini semakin besar dan menjadi agenda riset utama yang terkait dengan isu kesehatan dan gizi masyarakat.
Database WHO tentang masalah kegemukan dan obesitas ini memiliki variasi karena data yang diperoleh ada yang bersifat nasional, tapi ada pula hanya menggambarkan regional (provinsi), kota, bahkan desa.
Sebelum mengumpulkan database ini, WHO telah menetapkan kriteria studi tentang kegemukan dan obesitas yang akan dijadikan referensi harus memenuhi beberapa syarat, antara lain (1) kerangka sampel diperoleh dari populasi yang terdefinisi dengan jelas sehingga generalisasi temuan dapat dilakukan, (2) melibatkan minimal 100 sampel orang dewasa yang ditarik dengan teknik probabilistic sampling, dan (3) cut-off points penentuan indeks massa tubuh harus diseragamkan dengan ketentuan WHO.
Indeks massa tubuh didefinisikan sebagai berat badan (kilogram) per tinggi badan kuadrat (meter persegi). Apabila nilainya lebih besar sama dengan 25, tergolong kegemukan dan nilai lebih besar sama dengan 30 ialah obesitas. Sampai akhir 2004, WHO berhasil mengumpulkan data dari 97 negara.
Problem yang dihadapi negara-negara maju terkait dengan masalah kegemukan dan obesitas tampaknya lebih berat jika dibandingkan dengan negara berkembang. Sekitar 50% atau lebih penduduk di negara maju mengalami kegemukan, sedangkan di negara berkembang berkisar 20%-30%.
Hal itu dikarenakan masyarakat di negara maju mengonsumsi kalori jauh melebihi kebutuhan tubuh. Misalnya, konsumsi gula di AS 126 gram per orang per hari, Jerman, 102 gram, Australia 96 gram, Inggris 93 gram, dan Kanada 89 gram. Padahal, anjuran WHO hanya 25 gram per orang per hari.
Mengurangi kerawanan
Sangat menarik mengamati data kegemukan di Jepang, dengan tingkat kemakmuran yang tinggi, bahkan mungkin lebih tinggi jika dibandingkan dengan AS dan negara-negara Eropa, ternyata prevalensi kegemukan di Jepang hanya 23,4% dan obesitas 3,1%. Jepang sebagai negara maju rupanya tetap mempertahankan nilai tradisionalnya dalam hal pola makan.
Kebiasaan mengonsumsi seafood yang berlemak rendah, banyak makan kedelai (miso), dan minum teh mungkin berperan besar dalam mengerem laju pertumbuhan masalah kegemukan dan obesitas. Di Kepulauan Okinawa yang terkenal karena penduduknya berusia panjang, diduga masyarakatnya mempraktikkan calorie restriction atau membatasi asupan kalori hingga hanya 70%-80% dan ini yang membuat mereka bertahan hidup lebih lama.
Mengurangi konsumsi kalori memperlambat jam biologis atau menyelamatkan kita dari penyakit-penyakit menua. Menurut ahli gerontologia Roy Walford dari UCLA Medical School, diet rendah kalori dan tinggi gizi meremajakan beberapa sistem dalam tubuh, mengurangi kerawanan ancaman berbagai penyakit, dan mengulur rentang usia.
Kegemukan ialah faktor risiko penyakit jantung koroner. Ketika kita makan banyak kalori, tubuh dipaksa menghasilkan insulin dalam jumlah ekstra. Kehadiran insulin terlalu banyak memicu persekongkolan dengan lemak yang merusak pembuluh darah. Akhirnya, pembuluh darah terisi segala macam kotoran termasuk kolesterol, dan menyumbat aliran darah sehingga memunculkan penyakit jantung koroner dan stroke.
Studi longitudinal pada alumni Universitas Harvard menunjukkan, pria setengah baya mempunyai rentang usia lebih panjang 40% apabila badannya ramping jika dibandingkan dengan yang berbadan gemuk. Pria-pria ramping itu juga berisiko terserang jantung 60% lebih kecil.
Dengan menyadari bahwa kegemukan menjadi ancaman serius untuk tercapainya kesehatan yang optimal, jajaran kesehatan diharapkan jangan terlena dengan hanya memerangi masalah gizi kurang. Masalah gizi lebih, seperti kegemukan/obesitas juga memerlukan intervensi program kesehatan yang serius.
Promosi kesehatan dan sosialisasi bahaya kegemukan harus selalu didengungkan di tingkat masyarakat. Obesitas harus dijadikan isu politik agar kesadaran para pemimpin dan penentu kebijakan semakin tergugah dan dapat mendorong masyarakat untuk berperilaku lebih sehat dengan pola makan bergizi seimbang.
Ali Khomsan Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB
Sumber : mediaindonesia.com