(idionline.org)Pada tanggal 14 Juni 2013, European Medicine Agency (EMA) menerbitkan informasi bahwa EMA’S Pharmacovigilance Risk Assessment Committee (PRAC) merekomendasikan suspend izin edar cairan infus yang mengandung hydroxyethyl-starch karena risiko cairan infus yang mengandung HES lebih besar dari manfaatnya. Demikian dikatakan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza Dra. A Retno Tyas Utami, Apt, M. Epid dalam siaran Persnya tertanggal 23 Agustus 2013 di Jakarta.
Retno menambahkan, bahwa rekomendasi PRAC tersebut berdasarkan hasil review dari 3 studi klinis yang membandingkan penggunaan HES dengan produk lain sebagai volume replacement (kristaloid) pada pasien kritis dan juga data-data yang diserahkan perusahaan yang menunjukkan bahwa :
– Pasien yang diobati dengan HES mempunyai risiko kidney injury yang memerlukan dialysis dan risiko kematian (mortalitas) yang lebih besar dibandingkan dengan pengobatan kristaloid.
– Data yang ada menunjukkan terbatasnya manfaat HES untuk hypovolaemia dan PRAC tidak membenarkan penggunaannya mengingat risiko-risiko yang ada.
Rekomendasi PRAC akan diteruskan ke Coordination Group for Mutual Recognition and Rekomendai PRAC akan diteruskan ke Coordination Group for Mutual Recognition and Decentralized Procedures-Human (CMDh) untuk dapat diimplementasikasikan di Negara-negara Uni Eropa. Hingga informasi ini diterbitkan belum ada keputusan dari CMDh.
Badan otoritas Negara lain telah melakukan tindak lanjut regulatori diantaranya MHRA-Inggris berupa suspend dan penarikan cairan infus yang mengandung HES dari peredaran dan US FDA, Health Canada dan TGA-Australia berupa update label.
Di Indonesia, sediaan cairan infus yang mengandung hydroxyethyl starch (HES) digunakan untuk terapi dan profilaksis hypovolaemia. Pada informasi produk sediaan cairan infus yang mengandung HES telah terdapat informasi berupa konraindikasi dan peringatan pada pasien dengan gangguan ginjal parah atau yang sedang melakukan terapi dialisis.
Dengan adanya informasi keamanan terbaru professional kesehatan disarankan untuk memperhatikan hal-hal berikut :
- Tidak menggunakan HES pada pasien dewasa kritis dengan sepsis dan yang dirawat di ICU.
- Menghindari penggunaan HES pada pasien yang telah mempunyai disfungsi ginjal (renal dysfunction).
- Menghentikan penggunaan HES jika terdapat gejala awal kerusakan ginjal (renal injury).
- Melakukan pemantauan fungsi ginjal paling tidak selama 90 hari pada semua pasien karena terdapat laporan kebutuhan untuk melakukan renal replacement therapy hingga 90 hari setelah pemberian HES.
- HES tidak boleh digunakan untuk pasien dengan penyakit hati yang parah.
- Menghindari penggunaan HES pada pasien yang akan menjalani operasi bedah jantung karena terkait dengan risiko pendarahan berlebihan pada cardiopulmonary bypass.
- Menghentikan penggunaan HES jika terdapat gejala awal coagulopathy.
- Melaporkan efek samping produk cairan infus yang mengandung hydroxyethyl starch (HES) dengan menggunakan Formulir Pelaporan Efek Samping Obat (Form-kuning MESO) ke Badan POM.
“Badan POM RI sedang melakukan pengkajian yang komprehensif untuk penetapan tindak lanjut regulatori yang tepat. Update tentang hasil pengkajian dan penetapan tindak lanjut, akan kami sampaikan kembali, segera setelah dilaksanakan. Badan POM RI akan secara terus menerus melakukan pemantauan aspek keamanan obat, dalam rangka memberikan perlindungan yang optimal kepada masyarakat, dan sebagai upaya jaminan keamanan produk obat yang beredar di Indonesia,” tutur Retno.