Dilaporkan bahwa data dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), jumlah total dokter asing yang teregistrasi adalah 151 orang. Jumlah itu terbagi atas teregistrasi bersyarat untuk dokter, dokter gigi, dan spesialis sejumlah 12 orang, teregistrasi sementara untuk dokter, dokter gigi, dan spesialis sejumlah 5 orang, dan persetujuan alih iptek untuk spesialis dan spesialis gigi mencakup 134 orang.
Menurut Ketua Divisi Registrasi KKG-KKI Laksmi Dwiati, jumlah dokter asing diperkirakan terus meningkat. “Kalau peraturannya tidak segera diperbaiki, bukan tidak mungkin jumlah ini akan meningkat,” kata Laksmi dilaporkan kompas belum lama ini.
Dilihat dari kejadian ini bagaimana menurut pandangan Ketua Bidang Penataan Globalisasi Praktik Kedokteran PB IDI, Dr. Ario Djatmiko, SpB (K). Ario mengatakan, bahwa seakan persoalan nya hanya soal kompetensi dokter asing, peluang kerja dokter asing dinegeri ini dan nantinya ahirnya sampai pada persoalan persaingan kerja dokter lokal dan dokter asing. “Saya melihat kedatangan dokter asing “bebas” bekerja di Indonesia lebih merupakan ancaman Nasional ketimbang sekedar persaingan kerja antara dokter lokal dan dokter asing semata,” ujar Ario.
Ario lebih jauh mengatakan, dinegara-negara lain, masalah pembangunan kesehatan satu bangsa adalah masalah bangsa itu sendiri. Lihat, seperti di Jepang, Belanda, Amerika, Australia, Singapur, Malaysia dimanapun pelayanan dan pembangunan kesehatan selalu dilakukan oleh bangsa itu sendiri. Jawabannya jelas, karena pembangunan kesehatan satu Negara adalah tujuan utama (semua Negara) berbangsa, jadi memang harus atau hanya mungkin dicapai bila dilaksanakan oleh bangsa itu sendiri. Terlebih penting, kemampuan setiap Negara untuk menjaga kesehatan bangsanya adalah merupakan kedaulatan bangsa itu, tidak boleh diserahkan bangsa lain. “Lihat Negara tetangga kita, Singapur, Malaysia, Thailland, kewajiban nya menjaga kesehatan bangsanya telah lama selesai dengan sempurna. Kini mereka “surplus” layanan kesehatan yang siap dijual dipasar ASEAN. Sedangkan Indonesia layanan kesehatan dinegeri kita masih “minus”. Tidak bisa posisi minus itu ditambal dengan surplus layanan kesehatan Negara asing, mengapa? Karena kesehatan rakyat Indonesia adalah merupakan ketahanan Nasional yang tidak boleh diserahkan pada mekanisme pasar,” tutur Staf pengajar FK Unair ini.
Ario menambahkan, ada tiga bidang strategis yang harus mampu dilaksanakan oleh bangsa itu secara mandiri yaitu Bidang HanKamNas, Bidang Kesehatan dan Pendidikan. Sebab, ketiga bidang tersebut adalah faktor utama atau bagian yang paling mendasar dari ketahanan suatu bangsa. Kelemahan dari salah satu faktor tadi merupakan ancaman yang serius bagi kelangsungan hidup bangsa. Fungsi pemerintah disini jelas, adalah menjaga kedaulatan Negara di-ketiga bidang tersebut, mengapa? Hanya Negara yang berdaulat dibidang tersebutlah yang bisa membangun bangsanya. Tidak bisa persoalan membangun (keamanan, pendidikan dan kesehatan) Negara direduksi menjadi persoalan perdagangan. “Jelas, tidak boleh kita mengandalkan orang asing membangun negeri ini. Kita tidak bisa mengandalkan pasar dalam membangun ketahanan kesehatan bangsa ini. Lihat, Negara maju manapun didunia, keamanan, kesehatan dan pendidikan sepenuhnya menjadi domain Negara. Artinya Quality, accessibility dan affordability pada layanan kesehatan adalah tanggung jawab Negara karena, itu adalah tujuan utama Negara, tutur . Ketua LitBang IDI Wilayah Jatim.
Ario menegaskan, sebelum membicarakan kehadiran dokter asing di negeri ini, mari sama-sama melihat apa yang sedang terjadi di arena global dan dibidang medik. Jelas yang sedang terjadi adalah, ekspansi kepentingan perdagangan International (Neo-liberalism) untuk membuat semua sisi kehidupan ini menjadi arena jual beli. Ini jelas berlawanan dengan kepentingan nasional Negara manapun. Kehadiran dokter asing ke negeri ini adalah bagian dari kepentingan dagang , amat jauh dari kepentingan nasional negeri ini.
Jadi Ario memandang bahwa tenaga dokter asing ini, pertama merupakan kepentingan dagang Internasional telah mengikat negeri ini. “Ratifikasi ASEAN Charter menyatakan bahwa kita menerima aturan permainan negeri ini menjadi aturan Regional. Free flow currency, skilled worker, etc sudah menjadi keniscayaan. MRA adalah jalan menuju arus bebas manusia (skilled Worker, sudah disebutkan termasuk dokter dan paramedik) di ASEAN Region,” tutur Staf Ahli Bedah Unair ini.
Kedua, layanan Kesehatan (Medical Services) memasuki babak baru yang sama sekali baru. Teknologi kedokteran melompat amat pesat. Saat ini ketergantungan layanan kesehatan terhadap High Tech tak dapat dihindari lagi. High tech berarti hard ware, soft ware dan brain ware nya.
Ketiga, dalam perkembangan teknologi kedokteran, Indonedia jauh tertinggal. Terjadi Technology Gap yang amat serius antara negeri ini dengan pelayanan medik standarad global. Pemerintah tidak mampu menyediakan High Tech baik peralatan canggih maupun manusia (dokter) yang terdidik. Dalam pendidikan kedokteran, pemerintah lalai. Dokter-dokter Indonesia terdidik dan terampil yang mampu melakukan penanganan medik modern sesuai standard global amat terbatas.
Keempat, High Tech hanya dapat dinikmati di RS Swasta, yang notabene merupakan bagian dari industry. Hukum industry akan berjalan sesuai dengan bahasanya, yaitu profit oriented bukan bertujuan membangun bangsa. Industri kesehatan akan dikuasai oleh pemodal-pemodal besar dan akan ditambah lagi pemodal raksasa dari luar. Akibatnya, High tech akan semakin jauh dari jangkauan rakyat dan kesenjanganpun semakin melebar.
Kelima, Untuk memenangkan persaingan diarena business, keunggulan dibidang teknologi menjadi syarat mutlak. Pemodal besar akan menyiapkan Peralatan Medik tercanggih dan tentu mereka sangat membutuhkan dokter-dokter canggih untuk menjalankan industri nya.
Keenam, RS Swasta milik pemodal besar (Lokal-Asing), pasti membutuhkan dokter hebat yang siap pakai. Kehadiran industry Medik Global dinegeri ini mutlak harus dibarengi dengan kehadiran manusia (dokter) canggih. Tanpa dokter (asing) yang menguasai peralatan canggih mereka tidak bisa memulai dan memenangkan persaingan. Besar kemungkinan dokter lokal tidak memenuhi persyaratan terebut, baik kualitas, sertifikasi maupun kuantitas. Mau tidak mau mereka harus mendatangkan dokter asing
Apa yang akan terjadi dinegeri ini? Kata Ario, tegas, ada terdapat 2 (dua) ruang. Ruang pertama adalah ruang pasar ASEAN yang diisi oleh RS-RS modern milik pemodal kuat local-global, dengan pemain yang terdiri dari dokter-dokter canggih (asing) siap pakai. Ruang kedua, adalah ruang untuk yang tesingkir. Yaitu, masyarakat tanpa daya beli yang cukup untuk masuk kepasar ASEAN dan dokter (lokal) yang tersingkir dari tenaga kerja ASEAN karena tidak mampu memenuhi persyaratan Global. Diruang ini, RS Pemerintah dan RS-RS gurem, dukungan dana BPJS yang terbatas menyebabkan pelayanan kesehatan yang terjadi seadanya saja.
Apa akibatnya? Akibatnya, kata Ario, pertama, kesenjangan derajat kesehatan masyarakat melebar, ini berakibat turunnya produktifitas bangsa dan mempengaruhi masa depan bangsa.
Kedua, Teknologi canggih hanya dikuasai oleh RS-RS Swasta pemodal besar Lokal-Global diruang pertama. Sedangkan dokter lokal hanya “bermain” diruang kedua, diarena Low Tech. Terjadi inertia, terjadi gap pengetahuan. Perkembangan teknologi dokter lokal akan terhenti karena hilangnya kesempatan-peluang dokter lokal mengikuti pekembangan teknologi kedokteran akibat keterbatasan fasilitas. Ini jelas berakibat kedaulatan bangsa ini di bidang medik hilang.
Ketiga, kemandirian bangsa ini dalam membangun kesehatan bangsanya hilang. Negara Indonesia tidak berdaya menghadapi penyakit-penyakit yang membutuhkan high tech (Cardia vascular, Cancer, Transplantasi, minimal invasive, robotic, stem cell dll). Dinegara manapun, semua High Tech bidang kedokteran dilakukan oleh dokter bangsanya sendiri, karena ini merupakan kedaulatan bangsa itu.
Menurut Ario, IDI seharusnya menyatakan sikap demi kedaulatan bangsa dibidang kesehatan dinegeri ini dengan menyatakan:
- Pengurus IDI dan seluruh anggota IDI harus instrospeksi diri tentang perilaku, kompetensi dan performanya dimasyarakat. Setiap anggota IDI harus siap menjadi “pejuang” pembangunanan bangsa, bukan berperilaku sebagai pelaku bisnis kesehatan.
- IDI bersama Kemenkes dan PERSI harus melakukan pengawasan melekat (kendali mutu dan kendali biaya sesuai UU) terhadap performa dan perilaku dokter diIndonesia.
- IDI harus menyatakan bahwa: Technology Gap yang terjadi, kemampuan dokter Indonesia dibandingkan dengan kemampuan High Tech dokter global telah sampai pada titik lampu merah. Pemerintah segera harus turun tangan mencari jalan keluar (pintas) untuk mengejar agar kemampuan dokter Indonesia segera setara dengan dokter global.
- Pemerintah harus sepenuhnya mendukung lembaga pendidikan kedokteran (lokal) Indonesia (fakultas kedokteran dan RS Pendidikan) dalam kompetisi dibidang High Tech kedokteran.
- Setiap Pelayanan Kesehatan atau RS baik pemerintah maupun swasta milik pemodal Lokal maupun milik asing harus memperkerjakan dokter dan perawat berbangsa Indonesia sebagai tenaga inti.
- Dokter dan perawat asing yang datang ke Indonesia hanya bertujuan alih teknologi. Bekerja sementara. Tidak boleh praktek menerima pasien masyarakat Indonesia secara langsung. Tetapi harus didampingi dokter lokal yang dipersiapkan untuk menggantikan posisinya, setelah masa pelatihan selesai. Kebijakan seperti ini juga terjadi dibanyak Negara (China, Singapore, dll). Dokter asing tidak dibolehkan bekerja permanent, maksimal boleh bekerja 1 tahun sampai alih teknologi selesai.
Hadirnya Free Trade Era di negeri ini merupakan pukulan besar tidak saja bagi dokter Indonesia tetapi bagi seluruh bangsa. Mengapa? Pemerintah telah membuka diri tetapi lalai mempersiapkan tenaga dokter nya untuk menghadapi era baru ini. Bahkan menyediakan rakyatnya sebagai pasar untuk kepentingan business global (Asean). “Ini adalah kesalahan sejarah terbesar bangsa ini. Semua analisa dan pernyataan diatas itu adalah pemikiran saya selaku pribadi maupun sebagai Ketua Bidang Penataan Praktek Global PB IDI kepada Pengurus Besar IDI. Pernyataan sikap tentang nilai kebangsaan yang diemban oleh IDI harus tegas. Mungkin kelak kejadian akan berbeda, tetapi sikap PB IDI menolak pembangunan kesehatan bangsa kita diserahkan pada layanan dokter asing harus tercatat dalam sejarah negeri ini,” tegas Ario.