Ditetapkan pada masa pemerintahan Presiden ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sudah cukup baik. Bahwa masih ada kekurangan dalam perjalanannya dua tahun ini, tentu harus terus dikawal dan dikoreksi. Salah satunya, berbagai catatan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), seperti terkait kontrak dokter dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Demikian antara lain, poin audiensi yang dilakukan IDI dengan Ketua Komisi IX Dede Yusuf Macan Efendi (02/03/2016) di Ruang Rapat Fraksi Partai Demokrat (FPD). Dalam kesempatan ini, Dede Yusuf menyatakan bahwa beberapa negara memang melihat Indonesia sudah leading dalam JKN. Tetapi perbaikan harus terus dilakukan.

‘’Amerika punya social security number yang potongannya dari pajak. Jadi setiap orang yang masuk rumah sakit dapat layanan gratis. Sementara saat ini, di kita, peserta JKN banyak, dokternya masih sedikit yaitu 129 ribu dokter di luar dokter gigi. Tapi penyebarannya tidak merata. Itu antara lain, masalah kita,’’ kata Dede.

Selanjutnya dikayakan, bahwa ke depan masalah ini harus dibicarakan secara komprehensif. Ada pendataan yang valid misalnya, terkait jumlah atau stock dokter, dimana kurangnya, berapa puskesmas yang memiliki dokter.

“Dan banyak pertanyaan lain, seperti kenapa dokter sedikit? Apa pendidikannya susah? Susah dapat STL? Apa dokter tidak mau kerja di Puskesmas? Kita koreksi dulu diri kita. Jadi kita lihat kenapa dokter penyebarannya tidak merata. Ada rumah sakit di sebuah rumah sakit besar di Kalimantan, tidak ada dokternya, tidak ada pasiennya, dan tidak ada peralatannya. Cuma ada perawat banyak,” kata Dede.

Terkait hal ini, Dede menyatakan pihaknya pernah meminta pemimpin daerah untuk memberi insentif kepada dokter dengan memberi ‘uang duduk’. Pendidikan dokter juga lebih terjangkau.

“Masak  mau jadi spesialis harus seharga mobil supermewah? Jangan sampai kita membuat pendidikan dokter susah.”

Sebelumnya, Ketua Umum IDI Prof Dr Oetama Marsis, SPOG dan jajarannya memberikan berbagai catatan terkait JKN.

“Kami ingin membicarakan solusi dari kelemahan JKN, karena di tahun 2019 tidak akan ada dokter swasta atau pribadi. Nanti semua dokter, baik umum dan spesialis, akan punya kontrak dengan BPJS/JKN. Kami ingin membicarakan kesejahteraan khususnya bagi adik-adik dokter. Oleh karena itu nanti mohon diundang semua stakeholder agar tidak akan ada salah-salahkan,” kata Marsis.

Pengurus IDI lain, dr. Chairulsjah Sjahruddin kemudian memberikan catatan bahwa akan banyak masalah yang dihadapi. Setidaknya 3 bagian terkait JKN, kata Sjahruddin,  yaitu: divisi layanan primer, sekunder, dan rujukan.

“Dana yang diguyurkan untuk JKN 20% untuk primer (Puskesmas, mandiri, dan klinik), dan 80% untuk sekunder (rumah sakit). Dana yang dihabiskan harusnya 50% – 50% untuk primer dan sekunder, sistem rujukan sendiri belum berjalan. Lalu bagaimana dokter dihargai dengan layak sesuai sistem keekonomian yang layak juga akan dibicarakan? Rumah sakit umum/negeri bisa berbuat lebih banyak bagi dokter karena mereka tidak bayar tagihan apa-apa dan tidak investasi apa-apa untuk asset. Teman-teman dokter banyak yang mengatakan belum dihargai dengan layak. Khususnya di daerah. Mungkin karena ketidakmampuan manajemen,” jelas Sjahruddin.

Catatan berikutnya, diberikan Gatot Soetono. Ia mengatakan, JKN harusnya dibuat terstruktur. Seluruh penduduk harus daftar ke ranah primer terlebih dahulu. Kalau tidak selesai, baru ke sekunder.

“Harusnya di primer bisa beres. Tapi ini tidak terjadi. Jika JKN dilakukan harus ada kehadiran negara karena harus ada persebaran dokter yang merata..”

Kemudian, ”Memang ada kesalahan regulasi. Aturan juga dilanggar oleh BPJS. Jumlah dokter tidak cukup, tapi menerima pasien banyak. Regulasi yang salah ada di PP yang menyebutkan fasilitas kesehatan harus menerima pasien, padahal harusnya tidak begitu jika tidak cukup tenaga kesehatannya. Kami punya data, ada daerah yang butuh atau kekuarangan dokter. Nanti disampaikan ke Pemda, Pemda yang ambil action,” kata dr. M Adib K (Sekjen PB IDI).

Banyak poin lain disampaikan delegasi IDI, seperti terkait penataan sistem rujukan, tarif INA CBGs yang belum dimasukan clinical pathway, khususnya untuk kasus-kasus tertentu seperti ICU, hak-hak dokter, dan lain-lain.

“Tunjangan kesehatan dan jaminan hidup bagi dokter intership di daerah terpencil, juga perlu dipikirkan. Karena kadang belum dapat gaji, harus lebih dulu pakai uang sendiri. Sampai sana mereka tidak mendapat akses terhadap apapun. Kami juga berharap mungkin ada anggaran dari pemerintah untuk IDI. Jawaban dari Kemenkes susah bagi IDI untuk mendapat dana karena IDI dianggap LSM,” kata Adib.

Terkait berbagai masukan, Dede Yusuf menyatakan bahwa semuanya akan dibicarakan lebih lanjut di Komisi IX dan disampaikan kepada pemerintah.

‘’Mulai sekarang, mari kita kawal bersama. Koordinasi di bangsa kita memang sesuatu yang mahal. Saat ini subsidi BBM sudah ditarik. Harga bahan bakar minyak sudah turun. Tapi sama pemerintah malah dilarikan ke infrastuktur. Tidak kepada kesehatan dan pendidikan. Nanti kita bicarakan termasuk juga pajak alat kesehatan yang sangat mahal dan dijadikan seperti barang mewah. Nanti kita agendakan untuk pertemuan selanjutnya,,’’ kata politisi Partai Demokrat itu.

Sumber : demokrat.co.id

error: Content is protected !!