Intisari-Online.com – Menyongsong diberlakukannya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)dengan Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai pengelolanya di Januari 2014, ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Zaenal Abidin, berbagi cita-cita untuk mengembalikan kepemimpinan dokter di masyarakat. Simak bagaimana caranya seperti dituturkan kepada Lily Wibisono dan Mohamad Takdir berikut ini.
—
Kalau saya ditanya, bagaimana persepsi masyarakat terhadap dokter masa kini, saya akan menjawab, bagi masyarakat Indonesia hari ini, dokter adalah tukang-tukang yang disewa jasanya untuk menyembuhkan penyakit. Para dokter adalah sekadar agent of treatment.
Maka saya terkenang pada peristiwa di Gedung Stovia, pada suatu hari Minggu, 20 Mei 1908. Pada hari itu Soetomo, Suraji Tirtonegoro, Gunawan Mangunkusumo, Muh. Saleh dan kawan-kawan mendirikan Perkumpulan Boedi Oetomo. Sebuah perkumpulan yang diilhami oleh ide-ide dr. Wahidin Soedirohusodo dan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo. Maka bukannya mengada-ada bila sejak tahun 2008, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencanangkan 20 Mei tidak hanya sebagai Hari Kebangkitan Nasional, tapi juga sebagai Hari Bakti Dokter Indonesia.
Berkaca pada peristiwa tersebut, seyogianya dokter masa kini tidak membatasi kiprahnya hanya di antara dinding rutinitas profesionalisme sempit. Peran dan kepeloporannya yang memadukan tugas agent of treatment, agent of change, dan agent of development sangat dinantikan. Tahun 1994 WHO mengidentifikasikan dokter dengan peran seperti ini sebagai The Five Stars Doctors, Dokter Kelas Bintang Lima. Dokter yang berperan sebagai pemimpin komunitas, komunikator, manajer, pengambil keputusan, dan pemberi layanan kesehatan.
Mengadakan dokter-dokter kelas bintang lima membutuhkan lingkungan dan proses kerja yang mendukung. Dibutuhkan pengkondisian yang pas, dalam tubuh para dokter sendiri maupun di luar dunia kedokteran.
Yang mendasar, bagaimana kesehatan diposisikan dalam pembangunan nasional? Apakah kesehatan sudah dipandang sebagai unsur utama ketahanan nasional? Cara pandang yang memandang kesehatan sebagai pengobatan saja (paradigma “sakit”) dan hanya menjadi tanggung jawab sektor kesehatan, tidak akan mungkin dapat menempatkan kesehatan sebagai faktor utama dalam pembangunan nasional.
Untuk melayani 240 juta penduduk idealnya dibutuhkan 80.000 dokter pelayanan primer (DPP, dokter umum) dan ± 40.000 fasilitas kesehatan primer (puskesmas dan fasilitas kesehatan swasta, yaitu klinik atau praktik mandiri para dokter).
Di seluruh Indonesia jumlah puskesmas hanya sekitar 9.000-an. Menurut Riset Fasilitas Kesehatan tahun 2011, masih banyak puskesmas yang berada di bawah standar. Hal tersebut karena sarana, prasarana, SDM dan proses yang diperlukan untuk keberhasilan fungsi puskesmas masih jauh dari harapan. Belum lagi masih ada perbedaan amat besar di berbagai kota, desa dan daerah. Banyak puskesmas yang belum memadai fasilitasnya bagi praktik seorang dokter. Percayakah Anda, buku Pedoman Pelayanan Puskesmas saja belum tersedia di semua puskesmas?