http://www.idionline.org/wp-content/uploads/2018/04/DSC_1226.jpg

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai satu-satunya organisasi profesi kedokteran yang sah di Indonesia. Keberadaan IDI sebelumnya digugat oleh sejumlah dokter ke MK karena menganggap ada praktik monopoli yang dilakukan IDI dalam mengeluarkan sertifikasi profesi dokter.

“Menurut mahkamah tidak terdapat persoalan inkonstitusionalitas dalam permohonan,” ujar anggota hakim I Dewa Gede Palguna dalam sidang pengucapan putusan di gedung MK, Jakarta, Kamis (26/4).

Para penggugat sebelumnya meminta agar frasa ‘organisasi profesi’ dalam Undang-undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran bukan hanya IDI, tapi dimaknai dengan ‘meliputi juga Perhimpunan Dokter Spesialis’. Namun dalam pertimbangannya, hakim menyatakan Perhimpunan Dokter Spesialis sebagai salah satu unsur yang menyatu dan tidak terpisah dari IDI.

“Justru apabila logika permohonan para pemohon diikuti akan timbul ketidakpastian hukum karena menjadi tidak jelas kapan organisasi profesi dimaknai IDI atau sebagai Perhimpunan Dokter Spesialis,” kata Palguna.

Sementara terkait sertifikat kompetensi dari IDI yang dipermasalahkan pemohon, menurut hakim, hal itu justru menjadi bukti bahwa seorang dokter bukan hanya teruji secara akdemik tapi juga teruji dalam penerapan ilmu. Untuk memperoleh sertifikat kompetensi, seorang dokter harus memiliki sertifikat profesi atau ijazah terlebih dulu.

“Sertifikat kompetensi menunjukkan pengakuan akan kemampuan dan kesiapan seorang dokter untuk melakukan tindakan medis dalam praktik mandiri yang akan dijalani dan hanya diberikan pada mereka yang telah menjalani berbagai tahapan untuk menjadi dokter yang profesional,” ucapnya.

Namun hakim sepakat dengan permohonan yang menyatakan bahwa anggota IDI tak boleh rangkap jabatan sebagai anggota Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Penggugat sebelumnya menyatakan bahwa rangkap jabatan anggota IDI dan KKI berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Sebab, semua kewenangan konsil dan profesi kedokteran ujungnya tetap bertumpu pada IDI.

Hakim menyatakan bahwa sesuai ketentuan perundang-undangan, KKI bertugas melakukan registrasi dokter dan melaksanakan pembinaan terhadap penyelenggaran praktik kedokteran. Tugas itu, menurut hakim, berpotensi berkaitan dengan IDI sebagai salah satu institusi asal anggota KKI.

“Oleh karena itu untuk mencegah potensi benturan kepentingan maka anggota IDI yang duduk dalam KKI seharusnya mereka yang bukan pengurus IDI,” ucap hakim.

Dari sejumlah keterangan ahli sebelumnya juga menyatakan bahwa organisasi profesi kedokteran termasuk organisasi yang cukup vital karena menyangkut kesehatan raga dan keselamatan nyawa. Jika ada lebih dari satu organisasi profesi kedokteran, justru dikhawatirkan akan membuat keselamatan masyarakat terpecah belah.

Di sisi lain, sesuai putusan MK tentang tenaga kesehatan telah menyatakan secara jelas bahwa hanya perlu satu wadah organisasi profesi untuk satu jenis tenaga kesehatan. Di Indonesia sendiri, organisasi yang dimaksud adalah IDI.

Ketentuan soal kewenangan IDI sebelumnya digugat oleh 32 dokter, di antaranya yakni Judilherry Justam, Nurhadi Saleh, dan Pradana Soewondo. Mereka menganggap ada praktik monopoli yang dilakukan IDI dalam mengeluarkan sertifikasi profesi dokter.

Pasal yang diuji yakni Pasal 1 angka 4, angka 12, angka 13, serta Pasal 14 ayat (1) huruf a, Pasal 29 ayat (3) huruf d, dan Pasal 38 ayat (1) huruf c Undang-Undang Praktik Kedokteran. Pemohon juga menguji ketentuan Pasal 24 ayat (1), Pasal 36 ayat (3), dan Pasal 39 ayat (2) dalam Undang-Undang Pendidikan Dokter.

Sumber : cnnindonesia.com

error: Content is protected !!