ORASI HUT IDI KE 63
“REKONSTRUKSI KEPEMIMPINAN DOKTER INDONESIA MENUJU INDONESIA SEHAT YANG BERDAULAT”
Oleh: Zaenal Abidin
(Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia)
Jakarta, 24 Oktober 2013
REALITAS KEKINIAN INDONESIA
“Seperti kapal akan tenggelam
itulah negeri kita
bencana datang di mana-mana
membawa sengsara, membawa air mata
Seperti kapal dalam harapan
berlayar tanpa arah
dihempas badai dan gelombang
tak pernah sampai tujuan……”
Syair di atas adalah penggalan lagu almarhum Franky Sahilatua yang berjudul “Kembali ke Pancasila”, yang menggambarkan kondisi kekinian bangsa Indonesia. Beliau menggambarkan Indonesia seperti kapal yang akan tenggelam dan tak pernah sampai tujuan. Pernyataan tersebut bukanlah tanpa alasan melihat berbagai indikator keberhasilan pembangunan di Indonesia serta carut marutnya kondisi sosial politik bangsa. Salah satu indikator yang penting kita perhatikan adalah indeks pembangunan manusia atau dikenal dengan Human Development Index (HDI) yang memuat indikator usia harapan hidup, akses terhadap pendidikan dan standar hidup yang layak. HDI Indonesia pada tahun 2012 adalah 0,629 dengan posisi peringkat ke-121 dari 187 negara bersama Kiribati dan Afrika Selatan. HDI Indonesia di bawah nilai 0,64 yaitu nilai HDI rata-rata kelompok negara dengan indeks pembangunan manusia medium dan di bawah nilai 0,683 yaitu nilai rata-rata negara di Asia Timur dan Pasifik. (UNDP, 2012)
Data di atas menunjukkan bahwa sampai saat ini, secara rata-rata, penduduk Indonesia belum mencapai taraf hidup yang optimal dari segi ekonomi, pendidikan dan kesehatan yang merupakan indikator utama kesejahteraan. Atau dengan kata lain masyarakat Indonesia “belum sejahtera”. Padahal, dalam tujuan negara Indonesia yang disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945 jelas dinyatakan “memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Kondisi di atas salah satunya karena disparitas antarwilayah di Indonesia yang sangat besar. Belum meratanya pembangunan di seluruh wilayah Indonesia menyebabkan tingkatan kesejahteraan pun berbeda di setiap daerah di Indonesia. Sebagai contoh riil adalah tidak meratanya distribusi dokter di seluruh wilayah Indonesia. Saat ini jumlah dokter anggota IDI sebanyak 111.574 orang dengan jumlah anggota terbanyak di Provinsi DKI Jakarta sebanyak 20.942 orang. (Pusdalin PB IDI, 2013).
Selain itu, salah satu indikator keberpihakan pemerintah terhadap kesehatan rakyatnya adalah anggaran kesehatan yang optimal. Fitra, 2012 melansir data bahwa sejak tahun 2005 – 2013, rata-rata anggaran kesehatan hanya dialokasikan sebesar 2%, jauh dari amanat Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan yang mengamanatkan anggaran kesehatan 5% dari APBN dan 10 % dari APBD. Kondisi ini sangat mempengaruhi pelayanan kesehatan di Indonesia dan upaya menuju masyarakat sehat menemui jalan berliku dan panjang. Saat ini, IDI bersama organisasi profesi kesehatan membentuk Kongres Kesehatan Rakyat Indonesia demi memperjuangkan pelayanan kesehatan bermutu, berkeadilan, dan merata di seluruh wilayah Indonesia.
Menuju Masyarakat Sehat Berdaulat
Pasal 3 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan “Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis”. Merujuk pasal tersebut, pembangunan kesehatan diarahkan langsung kepada masyarakat sebagai subyek sekaligus obyek untuk hidup sehat. Dengan kata lain, pembangunan kesehatan mengarahkan pada terbentuknya masyarakat “berdaulat” untuk hidup sehat sehingga terwujud derajat kesehatan masyarakat yang tertinggi.
Dalam mewujudkan masyarakat sehat dan berdaulat sebagai tujuan pembangunan kesehatan, tidak lepas dari peran aktor kebijakan dan lingkungan kebijakan. Aktor kebijakan memiliki peran yang sangat penting dalam membuat suatu tatanan menuju tujuan yang dicita-citakan. Dalam menjalankan perannya, aktor kebijakan dipengaruhi oleh nilai-nilai politik, organisasi, pribadi, kebijakan dan ideologis. Tepat atau tidaknya kebijakan yang dibuat sesuai dengan tujuan bergantung pada sejauh mana para pelaku kebijakan menempatkan dirinya pada posisi berpihak kepada masyarakat luas atau hanya kelompok tertentu. Aktor kebijakan merupakan pemimpin itu sendiri. Dengan kata lain bahwa upaya mewujudkan masyarakat sehat dan berdaulat tidak lepas dari peran pemimpin dan kepemimpinannya agar sesuai koridor yang lebih berpihak kepada kepentingan kesejahteraan bagi masyarakat tanpa terkecuali.
Rekonstruksi Kepemimpinan dalam mewujudkan pembangunan kesehatan dengan paradigma sehat berdaulat
Kepemimpinan (leadership) adalah value (nilai) yang dimiliki seseorang dalam mengemban amanah sebagai pemimpin. Dalam konteks kenegaraan, value ini harus dimiliki pemimpin dari semua lini, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Untuk melihat apakah para pemimpin suatu negara telah menjadikan masalah kesehatan sebagai salah satu value yang mendasari paradigmanya dalam memimpin dapat dilihat dari outcome kepemimpinannya di bidang kesehatan.
Analisis terhadap outcome kepemimpinan ini dapat ditelusuri dari bagaimana para pemimpin menjadikan problematika kesehatan di negaranya sebagai input strategis yang menjadi prioritas utama untuk diidentifikasi. Input strategis ini kemudian diproses dengan menempatkan dimensi kesehatan manusia (fisik, mental, sosial, dan spritual) sebagai acuan dalam perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan. Sebagai hasilnya maka program-program pembangunan yang dijalankan pemimpin tersebut harus mampu menggerakkan masyarakat dan seluruh komponen bangsa untuk mencapai peningkatan yang progresif dalam derajat kesehatan rakyatnya. Outcome kepemimpinannya akan tergambar melalui indikator-indikator kesehatan yang semakin baik dari waktu ke waktu.
Saat ini, problematika kesehatan yang terjadi di Indonesia telah terwujud menjadi problematika yang bersifat struktural, sistemik, dan terjadi di semua lini. Bentuk konkrit dari terjadinya problematika kesehatan ini dapat ditelusuri dari rendahnya berbagai indikator kesehatan Indonesia dibandingkan dengan keniscayaan sumber daya yang dimiliki Indonesia.
Para pemimpin bangsa yang menjadikan kesehatan rakyat sebagai soko guru bagi “tegaknya” kualitas Sumber Daya Manusia adalah pemimpin yang tidak hanya mampu menjadikan rakyatnya sehat, tapi juga mampu menggerakkan dan memfasilitasi seluruh komponen bangsa agar mempunyai kesadaran yang tinggi akan pentingnya kesehatan, sehingga keberadaan pemimpin tersebut dapat menjadi inspirasi, pendorong dan penggerak bagi terwujudnya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat.
Beberapa tahapan paradigma dalam pembangunan kesehatan di Indonesia
Paradigma adalah cara pandang orang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berfikir, bersikap dan bertingkah laku. Bagi seorang pemimpin, paradigma yang digunakannya dalam memimpin akan mempengaruhi secara langsung segenap keputusannya. Di bidang kesehatan, apa yang menjadi paradigma pemimpin tersebut akan tercermin dalam program pembangunan kesehatan yang dicanangkannya.
Paradigma Biomedis
Di awal kemerdekaan, situasi derajat kesehatan rakyat Indonesia relatif rendah. Angka kesakitan dan angka kematian sangat tinggi, utamanya disebabkan prevalensi penyakit menular yang merata terjadi diseluruh Indonesia. Kondisi ini diperparah dengan buruknya kualitas lingkungan, kurangnya SDM Kesehatan, terbatasnya sarana pelayanan kesehatan dan pembiayaan kesehatan masyarakat yang sangat minimal.
Kondisi objektif ini menyebabkan terbangunnya paradigma biomedis yang mengedepankan aspek kuratif dalam pembangunan kesehatan. Hal mana ditandai dengan gencarnya pembangunan pelayanan kedokteran, pembangunan rumah sakit, pendistribusian obat-obatan dengan membuka peluang seluas-luasnya bagi industri farmasi, baik nasional maupun asing untuk berkiprah.
Namun, ketika paradigma biomedis dalam pembangunan kesehatan terus dipakai, berbagai distorsipun terjadi: Meningkatnya jumlah SDM Kesehatan tidak dibarengi dengan distribusi yang proporsional; Meningkatnya jumlah sarana pelayanan kesehatan (Rumah Sakit, Puskesmas, Posyandu) tidak didukung dengan sistem pelayanan yang terstruktur; Terbukanya peluang bagi industri farmasi tidak menjadikan obat generik dan obat-obat esensial sebagai primadona pengobatan. Akumulasinya adalah terjadinya anarkisme dalam pelayanan kesehatan di Indonesia: Tenaga kesehatan terkonsentrasi didaerah yang menguntungkan bagi profesinya; Rumah sakit dijadikan sumber PAD; dan obat-obatan berubah menjadi komoditi komersial.
Paradigma Sehat
Keprihatinan atas terjadinya berbagai distorsi dalam paradigma pembangunan kesehatan dengan paradigma biomedis ini melahirkan menyebabkan pemimpin Indonesia di periode orde baru melakukan koreksi atas paradigma yang digunakan dalam pembangunan kesehatan. Puncaknya adalah dicanangkannya “Paradigma Sehat” dengan capaian “Indonesia Sehat 2010″ sebagai salah satu kualitas yang ingin dicapai para pemimpin Indonesia saat itu.
Komitmen yang sangat mulia dengan menjadikan “Paradigma Sehat” dalam pembangunan kesehatan di Indonesia sayangnya tidak didukung oleh infrastruktur dan kesamaan persepsi dari seluruh stake holder yang berkepentingan dalam pembangunan kesehatan. Paradigma Sehat memang dijadikan acuan dalam Sistem Kesehatan Nasional, namun Paradigma Biomedis yang menekankan aspek kuratif, termasuk dalam pembiayaan kesehatan tetap tidak ditinggalkan. Hal lain yang memperparah kondisi ini adalah terbukanya pasar pelayanan kesehatan bagi pihak asing untuk masuk ke Indonesia melalui pintu asuransi kesehatan komersial, transfer of knowlegde and technology, dan kerjasama manajemen rumah sakit.
Paradigma Sehat Berdaulat
Saat ini dan ke depan, Indonesia harus memiliki paradigma pembangunan kesehatan yang mumpuni untuk mengatasi berbagai problematika kesehatan yang telah terjadi secara struktural dan sistemik. Nilai-nilai baik pada paradigma biomedis (ketersediaan sarana dan tenaga kesehatan yang proporsional) harus dioptimalkan. Nilai-nilai baik pada paradigma sehat (menjadikan aspek kesehatan sebagai mainstream pembangunan nasional, serta pelaksanaan sistem pelayanan kesehatan yang terstruktur yang ujung tombaknya adalah dokter layanan primer) harus dikedepankan. Indonesia butuh paradigma pembangunan kesehatan yang mendukung terwujudnya kedaulatan kesehatan bagi rakyat Indonesia.
Pembangunan kesehatan dengan Paradigma Sehat Berdaulat adalah pembangunan kesehatan yang memungkinkan seluruh sumberdaya kesehatan di Indonesia bekerja optimal untuk menjamin terwujudnya hak-hak kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Langkah-langkah prioritas untuk mewujudkan pembangunan kesehatan dengan paradigma sehat berdaulat adalah dengan melakukan rekonstruksi pemikiran dan wawasan para pemimpin dan calon pemimpin nasional Indonesia agar mempunyai visi dan misi kepemimpinan yang lebih menyentuh kepada penyelesaian problematika struktural pembangunan kesehatan di Indonesia.
Langkah Strategis
Langkah-langkah strategis untuk mengatasi problematika struktural kesehatan di Indonesia adalah dengan sesegera mungkin melakukan 6 langkah Optimalisasi dalam pembangunan kesehatan, yaitu:
- Optimalisasi program public health dengan penekanan utama pada upaya promotif dan preventif
- Optimalisasi sarana sesehatan tersruktur
- Optimalisasi program kesehatan ibu dan anak
- Optimalisasi program keseimbangan gizi masyarakat
- 5. Optimalisasi program pelayanan kesehatan dan asuransi kesehatan universal coverage
- Optimalisasi program pendidikan kedokteran dan SDM Kesehatan lainnya
PENUTUP
Sebagai penutup, begitu pentingnya pemimpin dan kepemimpinan dalam suatu organisasi atau bangsa, Dr. Soetomo, pendahulu kedokteran Indonesia serta pencetus berdirinya gerakan Boedi Oetomo, 20 Mei 1908, pernah berkata “Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mempersiapkan pemimpin baru. Bila seorang pemimpin tidak menghasilkan pemimpin-pemimpin baru maka pemimpin tersebut telah kandas dalam kepemimpinannya.”
Tentu saja pemimpin baru yang dicanangkan itu bukan sekedar pemimpin yang sehat jiwa dan raganya, tetapi juga memiliki pikiran dan spirit kebangsaan Indonesia.
Billahit Taufiq Walhidayah